Beranda | Artikel
Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)
Rabu, 8 September 2021

Baca penjelasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 1)

Bismillah.

Alhamdulillah, pada kesempatan ini Allah berikan kemudahan bagi kita untuk melanjutkan kembali pembahasan dari risalah Qawa’id Arba’ atau empat kaidah utama karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah. Pada bagian terdahulu kita telah membaca mukadimah atau pengantar dari beliau yang berisi doa bagi pembaca risalahnya agar mendapatkan pertolongan dari Allah dan diberkahi di mana pun ia berada.

Kemudian, beliau berkata,

“Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristighfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.”

Penjelasan

Tidaklah diragukan bahwa kebahagiaan menjadi dambaan setiap insan. Tidak ada orang yang ingin hidup sengsara. Semua pasti ingin bahagia. Akan tetapi, banyak orang salah paham tentang hakikat kebahagiaan. Mereka menyangka bahwa kebahagiaan itu terletak pada banyaknya harta, tingginya jabatan, ketenaran, atau ketampanan dan kecantikan. Oleh sebab itu, banyak orang hanyut dalam kerusakan akhlak dan kesesatan akidah dengan dalih demi mengejar kebahagiaan.

Padahal, Allah menjadikan kebahagiaan itu akan bisa diraih dengan mengikuti petunjuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ

“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS. Thaha: 123).

Hakikat kebahagiaan itu adalah kelapangan dada dan ketenangan hati, sebagaimana sering diulang-ulang oleh Ustaz Afifi Hafizhahullah dalam ceramahnya. Hal ini senada dengan penjelasan Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah dalam kitabnya, at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, bahwa pokok kehidupan yang baik itu adalah kelapangan dan ketenangan hati (lihat at-Taudhih wal Bayan, hal. 50).

Kebahagiaan hakiki itu hanya bisa digapai dengan iman dan amal salih. Allah Ta’ala berfirman,

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki dan perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka amalkan” (QS. an-Nahl: 97).

Iman dan amal salih inilah yang akan membuahkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Bagi orang beriman, kelezatan hidup itu ada pada ketaatan. Kebahagiaan ada di tangan Allah Ta’ala dan tidak bisa diraih kecuali dengan taat kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul” (HR. Muslim).

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata,

“Orang-orang yang malang dari penduduk dunia. Mereka yang keluar darinya dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang terbaik di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang terbaik di dunia?” Beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Orang yang mengenal Allah Ta’ala, maka dia akan menyadari bahwa segala nikmat yang dia peroleh datangnya dari Allah, sehingga dia pun bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah Ta’ala, maka dia pun meyakini bahwa musibah adalah takdir Allah Ta’ala yang wajib dihadapi dengan kesabaran. Orang yang mengenal Allah Ta’ala, maka dia menyadari dosa dan kesalahannya. Sehingga dia pun beristighfar memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosanya. Ketiga hal ini: (1) syukur; (2) sabar; dan (3) istighfar merupakan tanda kebahagiaan hamba, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah di bagian awal kitabnya al-Wabil ash-Shayyib (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5).

Baca Juga: 6 Pilar Aqidah dan Manhaj

Dari sinilah kita mengetahui betapa besar nikmat hidayah dan petunjuk agama. Sebab tanpa hidayah dan petunjuk agama Islam, maka manusia akan tenggelam dalam kesesatan dan hanyut dalam kerusakan. Sehingga banyak orang diberi nikmat, akan tetapi tidak bersyukur kepada Allah Ta’ala. Mereka tertimpa musibah tetapi tidak bersabar dalam menghadapinya, mereka marah kepada Allah dan tidak menerima ketetapan-Nya. Begitu pula tidak sedikit orang yang berbuat dosa dan tidak kunjung beristighfar, bahkan mereka berbangga dengan dosa dan tidak malu dengan maksiatnya.

Sungguh hidayah agama ini merupakan kebahagiaan besar bagi seorang hamba, sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Sehingga dia akan meyakini bahwa kebahagiaan itu bukanlah dengan menumpuk-numpuk harta. Akan tetapi, hakikat orang bahagia adalah mereka yang menghiasi hati dan perilakunya dengan takwa. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman mengenai hari akhirat,

يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (٨٨) إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ (٨٩)

“Pada hari itu tiada berguna harta dan anak-anak kecuali bagi mereka yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang selamat” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89).

Syukur kepada Allah dilandasi oleh keyakinan di dalam hati bahwa semua nikmat yang kita raih berasal dari Allah Ta’ala. Kemudian kita memuji Allah atas nikmat-nikmat itu, kita sandarkan nikmat kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya. Termasuk bentuk syukur adalah tidak menggunakan nikmat kecuali dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Dengan demikian, melakukan segala bentuk amal salih pada hakikatnya merupakan aplikasi dari syukur kepada Allah Ta’ala. Pokok dari syukur itu adalah mentauhidkan Allah Ta’ala. Karena hanya Allah Ta’ala yang menciptakan kita, maka hanya kepada-Nya kita beribadah. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa” (QS. al-Baqarah: 21).

Untuk bisa mewujudkan syukur kepada Allah, seorang hamba harus mewujudkan sikap musyahadatul minnah; yaitu menyaksikan dan menyadari berbagai macam nikmat yang Allah curahkan kepadanya. Sebagaimana tertuang dalam doa sayyidul istighfar pada kalimat ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya’ yang artinya, “Dan aku mengakui kepada-Mu akan segala nikmat yang Kau berikan kepadaku…” (HR. Bukhari).

Dengan musyahadatul minnah inilah akan tumbuh kecintaan, pujian, dan syukur kepada Allah (lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11).

Oleh sebab itu, setiap hari di dalam salat kita diajari untuk memuji Allah dalam kalimat alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, di dalam bacaan al-Fatihah. Tidak kurang dari 17 kali dalam 24 jam. Di setiap rakaat salat, kita memuji Allah dan menyanjung-Nya. “Alhamdulillah” adalah kalimat yang terucap dari setiap orang yang bersyukur kepada Allah. Dia memuji Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dia memuji Allah atas sekian banyak nikmat yang Allah curahkan kepada dirinya. “Alhamdulilah” ini pula salah satu kalimat yang paling Allah cintai.

Allah Mahaterpuji karena kesempurnaan sifat dan perbuatan-Nya. Allah juga terpuji karena limpahan nikmat yang tercurah kepada kita. Tidak ada satu pun nikmat yang ada pada diri kita, kecuali datangnya dari Allah semata. Bahkan pada setiap kali bangun tidur kita diajari untuk bersyukur kepada Allah dengan membaca doa alhamdulillahilladzi ahyaanaa ba’da maa amaatana… Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita kembali setelah mematikan kita… (HR. Bukhari)

Baca Juga: Catatan Ringan Seputar Aqidah

Kehidupan ini adalah nikmat agung yang Allah berikan kepada kita dan wajib kita syukuri. Bukankah Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian yang lebih bagus amalnya” (QS. al-Mulk : 2).

Dan sebagaimana telah ditafsirkan oleh ulama salaf bahwa yang paling bagus amalnya yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. “Ikhlas” ketika amal itu dilakukan karena Allah, sedangkan “benar” adalah apabila amalan itu sesuai dengan sunnah (tuntunan) rasul.

Mensyukuri nikmat Allah bukanlah perkara yang sepele. Karena dengan syukur itulah, nikmat semakin Allah tambahkan, dan dengan syukur itu pula akan terjaga nikmat-nikmat yang telah kita dapatkan. Tanpa syukur kepada Allah, maka nikmat-nikmat itu justru akan berubah menjadi malapetaka. Sebagaimana telah diingatkan oleh Abu Hazim Rahimahullah, “Setiap nikmat yang tidak semakin menambah dekat kepada Allah, maka pada hakikatnya itu adalah malapetaka.”

Allah berikan nikmat itu demi menguji hamba apakah dia bersyukur kepada Allah ataukah justru kufur akan nikmat-Nya. Allah pun berikan cobaan berupa musibah kepada kita agar terlihat siapakah orang-orang yang sabar menghadapinya dan siapa yang justru marah kepada takdir-Nya. Inilah kehidupan yang kita jalani. Hidup penuh dengan ujian. Hanya orang beriman yang bisa menyambut nikmat dengan kesyukuran dan menyambut musibah dengan kesabaran.

Baca Juga:

[Bersambung]

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si


Artikel asli: https://muslim.or.id/68732-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-2.html